
News Tajdid, Tanjung Selor – Konser band legendaris Slank di Kabupaten Malinau baru-baru ini memicu kontroversi setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malinau, Ping Ding, berpose dengan vokalis Kaka, menirukan simbol metal tiga jari yang telah menjadi ciri khas band tersebut.
Foto ini menimbulkan spekulasi tentang adanya unsur politik yang melibatkan simbol tersebut, yang juga diidentikkan dengan salah satu pasangan calon dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
Mengklarifikasi pernyataan yang beredar, Ping menegaskan bahwa tidak ada maksud politik dalam foto tersebut.
“Tidak ada unsur politik. Kebetulan simbol metal itu sama dengan angka tiga dari salah satu Paslon Pilkada,” ujarnya pada Senin, 28 Oktober 2024. Pernyataan ini menegaskan bahwa interaksi mereka dengan simbol tersebut murni sebagai penghormatan terhadap karya musik Slank yang sudah dikenal luas.
Dalam sesi foto tersebut, Ping mengungkapkan bahwa Kaka-lah yang lebih dulu mengangkat simbol metal tersebut, dan ia hanya mengikuti.
“Tidak ada yang menyuruh atau menyeting beliau untuk berpose gaya tiga jari itu. Simbol itu sudah menjadi ciri khas mereka sejak puluhan tahun yang lalu,” imbuhnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa simbol tersebut telah menjadi bagian dari budaya musik Indonesia, terlepas dari konotasi politik yang mungkin muncul.
Selama konser, Ping juga mencatat bahwa personel Slank sempat berfoto dengan tamu-tamu lainnya, menggunakan berbagai simbol tangan.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
“Ada pose jempol, simbol sarangheo, dan simbol metal. Kenapa hanya simbol metal yang dipersoalkan?” tanyanya. Hal ini menyoroti kecenderungan untuk mengaitkan momen-momen non-politik dengan agenda politik, yang seringkali mengaburkan makna asli dari simbol tersebut.
Ping melanjutkan bahwa simbol tiga jari seharusnya tidak dikaitkan dengan isu politik secara langsung, melainkan dipahami sebagai bagian dari pengalaman konser yang penuh semangat dan penghargaan terhadap musik.
“Kita sebagai penikmat musik Slank hanya meresponsnya sebagai bentuk penghargaan terhadap karya musik mereka,” jelasnya.
Dalam diskusi ini, Ping menyarankan agar pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk langsung bertanya kepada Slank mengenai pose tersebut.
“Tidak ada satupun pihak yang meminta mereka berpose demikian,” pungkasnya, menekankan independensi band dalam berinteraksi dengan penggemar.
Kasus ini membuka perdebatan lebih luas mengenai bagaimana simbol-simbol budaya sering kali disalahartikan dalam konteks politik.
Simbol metal tiga jari, yang awalnya merupakan ekspresi dari kebebasan dan solidaritas di dunia musik, kini terjebak dalam isu yang lebih besar.
Dengan demikian, penting bagi masyarakat untuk memahami konteks asli dari simbol-simbol tersebut dan tidak langsung mengaitkannya dengan agenda politik tertentu.
Kita harus menjaga integritas budaya musik Indonesia dari politisasi yang tidak perlu, agar tetap bisa dinikmati dan dihargai oleh semua kalangan. (*)