Demoralisasi Nilai Pancasila Jelang HUT RI ke-79: Sebuah Refleksi Atas Larangan Jilbab Paskibraka

Sebuah Refleksi Atas Larangan Jilbab Paskibraka

Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-79, kita dihadapkan pada sebuah fenomena yang mengusik nurani kebangsaan. Kejadian pelarangan penggunaan jilbab oleh anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) saat pelantikan menjadi cermin dari demoralisasi nilai-nilai Pancasila yang seharusnya kita junjung tinggi.

Meskipun pada akhirnya kebijakan tersebut ditarik kembali setelah mendapat kritik luas dari masyarakat, kejadian ini menyisakan berbagai pertanyaan mendasar tentang arah kebijakan negara dan pemahaman terhadap Pancasila serta agama dalam konteks kebebasan beragama dan hak asasi manusia (HAM).

Kebijakan Negara dalam Penyeragaman: Larangan Jilbab sebagai Paradoks

Kebijakan negara yang melarang penggunaan jilbab dalam pelantikan Paskibraka berlandaskan pada argumen penyeragaman. Penyeragaman di sini dianggap penting untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan dalam tampilan Paskibraka sebagai simbol negara. Namun, kebijakan ini justru menunjukkan kontradiksi yang mendasar dalam prinsip kesatuan yang dimaksud. Kesatuan bukan berarti harus menafikan keberagaman yang ada dalam tubuh bangsa ini.

Indonesia, sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya, agama, dan keyakinan, seharusnya merayakan keberagaman ini dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam simbol-simbol kenegaraan seperti Paskibraka.

Larangan berjilbab ini menunjukkan pemahaman yang sempit tentang makna persatuan dan kesatuan. Penyeragaman yang memaksakan satu standar tanpa mempertimbangkan kebebasan individu untuk mengekspresikan identitasnya adalah bentuk lain dari tirani mayoritas.

Dalam konteks ini, negara seolah-olah mengabaikan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila kedua, yang mengamanatkan kita untuk menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Ketika seorang Muslimah dihalangi untuk mengenakan jilbabnya, yang merupakan bagian dari identitas dan keyakinan agamanya, negara telah gagal menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tersebut.

Paham Komunisme: Bahaya yang Mengancam

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelarangan penggunaan simbol-simbol keagamaan seperti jilbab ini menimbulkan kekhawatiran bahwa ada upaya terselubung untuk memasukkan paham komunisme ke dalam tubuh negara. Komunisme, dengan ideologi atheisnya, secara historis telah menentang keberadaan agama dan segala bentuk ekspresi keagamaan.

Dalam sejarahnya, negara-negara yang menganut paham komunis seringkali melakukan represi terhadap agama dan memaksakan penyeragaman ideologi yang berujung pada penghapusan kebebasan beragama.

Jika kita melihat kebijakan pelarangan jilbab ini dalam perspektif yang lebih luas, ada potensi bahwa kebijakan semacam ini bisa menjadi pintu masuk bagi penyebaran paham yang menentang keberadaan agama dalam kehidupan publik.

Penyeragaman yang memaksa dan tidak menghargai keyakinan individu bisa dianggap sebagai langkah awal untuk mengikis nilai-nilai agama yang selama ini menjadi bagian integral dari kehidupan bangsa Indonesia.

Kebebasan Beragama dalam Konteks HAM

Indonesia, sebagai negara demokratis, telah mengakui kebebasan beragama sebagai hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, serta memilih kewarganegaraan.

Selain itu, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam konteks internasional, kebebasan beragama juga diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 18 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini meliputi kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun pribadi, untuk menjalankan agamanya atau kepercayaannya dalam pengajaran, praktik, ibadah, dan ketaatan.

Larangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk beragama dan mengekspresikan keyakinan agama. Negara seharusnya menjadi pelindung hak-hak ini, bukan sebaliknya menjadi pihak yang membatasi kebebasan beragama dengan alasan penyeragaman yang tidak tepat.

Kecacatan dalam Menafsirkan Agama dan Pancasila.

Salah satu masalah mendasar yang muncul dari kebijakan pelarangan jilbab ini adalah adanya kecacatan dalam menafsirkan agama dan Pancasila. Pancasila, sebagai dasar negara, seharusnya menjadi pedoman bagi setiap kebijakan yang diambil oleh negara. Namun, dalam kasus ini, Pancasila justru disalahartikan dan digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kebebasan beragama.

Kebebasan beragama merupakan salah satu nilai utama yang terkandung dalam sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi keberadaan agama dan menghormati keyakinan setiap warganya. Ketika kebijakan negara justru menghalangi seseorang untuk menjalankan keyakinan agamanya, seperti penggunaan jilbab, maka jelas bahwa ada kekeliruan dalam menafsirkan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila.

Penghargaan Terhadap Pahlawan Perempuan yang Berjilbab

Kebijakan pelarangan jilbab juga menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap pahlawan perempuan yang berjilbab dalam sejarah perjuangan bangsa. Salah satu contohnya adalah Nyai Walidah, istri dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Nyai Walidah dikenal sebagai tokoh perempuan yang berjuang untuk pendidikan dan kesejahteraan umat, serta berjilbab sebagai bagian dari identitasnya sebagai seorang Muslimah. Melarang penggunaan jilbab dalam acara kenegaraan seperti Paskibraka adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para pahlawan perempuan seperti Nyai Walidah. Kebijakan ini seolah-olah mengabaikan fakta bahwa jilbab adalah bagian dari identitas dan kehormatan perempuan Muslim di Indonesia.

Mengawal dan Menghentikan Upaya-Upaya Serupa di Masa Depan

Kejadian pelarangan jilbab dalam Paskibraka ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua untuk lebih waspada terhadap upaya-upaya serupa di masa depan. Masyarakat perlu terus mengawal kebijakan-kebijakan negara yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama dalam hal kebebasan beragama. Kita tidak boleh tinggal diam ketika ada upaya untuk melemahkan nilai-nilai agama dan Pancasila melalui kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif.

Untuk itu, penting bagi masyarakat untuk selalu kritis dan vokal dalam menyuarakan ketidakadilan. Media massa, organisasi masyarakat, dan tokoh-tokoh agama harus memainkan peran aktif dalam mengawal kebijakan-kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Pentingnya Regulasi yang Tegas dan Jelas

Agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali di masa depan, sangat penting bagi negara untuk menetapkan regulasi yang tegas dan jelas terkait penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam acara-acara kenegaraan. Regulasi ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila dan menghormati kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.

Regulasi tersebut harus mampu memberikan perlindungan bagi setiap warga negara untuk mengekspresikan keyakinan agamanya tanpa merasa terancam atau dikekang. Regulasi ini juga harus memastikan bahwa setiap kebijakan negara yang diambil tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia.

Keteladanan dalam pertanggungjawaban

Sebagai orang yang dianggap paling bertaggung jawab atas seluruh rangkaian kejadian ini, maka Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Kalimantan Utara secara tegas meminta agar Ketua BPIP dalam tempo yang sesingkat singkatnya segera meletakkan jabatannya.

Jangan sampai lembaga yang di desain untuk menjadi pengawal nilai – nilai pancasila malah di pimpin oleh orang – orang seperti beliau yang pemikirannya terlalu prematur. Logika berfikirnya yang selalu bersebrangan dengan akal sehat. dan patut di duga, kebijakan ini bagian dari upaya memasukkan kembali paham – paham komunis dalam nilai – nilai kebangsaan di negeri ini. (Opini)

Related Posts

INSTEKMU Tarakan dan APINDO Kaltara Jalin Kemitraan Strategis, Bahas Kebutuhan Tenaga Kerja Lokal

Tarakan – Institut Sains dan Teknologi Muhammadiyah (INSTEKMU) Tarakan melakukan kunjungan sekaligus silaturahmi ke Kantor APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Kalimantan Utara pada Selasa, 9 Juli 2025. Kegiatan ini diisi dengan…

Lanjutkan Membaca
Narkoba: Saya Tidak Diam dan Tidak Mati

Oleh: Ahmad Imam MaarifWakil Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Publik PDPM Tarakan Peredaran narkoba di Indonesia, khususnya di Kalimantan Utara dan Kota Tarakan, kian hari kian menjadi hal yang lumrah…

Lanjutkan Membaca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

INSTEKMU Tarakan dan APINDO Kaltara Jalin Kemitraan Strategis, Bahas Kebutuhan Tenaga Kerja Lokal

INSTEKMU Tarakan dan APINDO Kaltara Jalin Kemitraan Strategis, Bahas Kebutuhan Tenaga Kerja Lokal

Akses Internet di SMA Kaltara Terimbas Efisiensi Anggaran, Fokus Dialihkan ke Wilayah 3T

Akses Internet di SMA Kaltara Terimbas Efisiensi Anggaran, Fokus Dialihkan ke Wilayah 3T

SD Muhammadiyah 2 Tarakan Deklarasi Sekolah Ramah Anak dan Sekolah Bersinar

SD Muhammadiyah 2 Tarakan Deklarasi Sekolah Ramah Anak dan Sekolah Bersinar

Family Gathering GTK Muhammadiyah Selumit, Langkah Baru Menuju Pendidikan Berkualitas

Family Gathering GTK Muhammadiyah Selumit, Langkah Baru Menuju Pendidikan Berkualitas

Kebersamaan dan Sinergi GTK Muhammadiyah Selumit dalam Family Gathering

Kebersamaan dan Sinergi GTK Muhammadiyah Selumit dalam Family Gathering

Majelis Dikdasmen Tarakan Tetapkan Jadwal Pembelajaran Selama Ramadhan 1446 H

Majelis Dikdasmen Tarakan Tetapkan Jadwal Pembelajaran Selama Ramadhan 1446 H