
Oleh : Ahmad Imam Maarif, Pemerhati Demokrasi / Wakil Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Publik PDPM Tarakan
Politik identitas, menurut Cressida Heyes dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy (2007), adalah jenis aktivitas politik yang didasarkan pada pengalaman persamaan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh kelompok tertentu. Definisi ini berangkat dari pengalaman nyata yang dialami oleh golongan yang merasa diabaikan atau tertindas oleh sistem. Meskipun konsep ini sangat relevan di dunia politik modern, terutama di masyarakat plural, namun dalam konteks Indonesia, peraturan tentang politik identitas belum sepenuhnya jelas.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), istilah politik identitas tidak didefinisikan secara eksplisit. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana batasan politik identitas diterapkan dalam konteks pemilihan. Sementara itu, pemilihan umum di Indonesia sering kali diwarnai oleh isu-isu identitas, seperti agama, suku, dan golongan, yang digunakan untuk meraih dukungan pemilih.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
Namun, meskipun politik identitas tidak diatur secara langsung dalam UU Pemilu, Pasal 280 ayat (1) memberikan batasan-batasan bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu. Pasal ini melarang tindakan menghina seseorang berdasarkan agama, suku, ras, atau golongan. Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya diskriminasi atau ujaran kebencian yang dapat memicu konflik selama proses pemilu berlangsung.
Lebih lanjut, UU Pemilu juga melarang adanya hasutan atau provokasi yang dapat memecah belah masyarakat. Dalam konteks politik identitas, larangan ini sangat penting karena politik berbasis identitas yang tidak terkontrol dapat menimbulkan polarisasi yang tajam di masyarakat. Oleh sebab itu, perlu ada upaya yang lebih tegas untuk mencegah politisasi identitas yang merusak proses demokrasi.
Selain UU Pemilu, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) juga mengatur ketentuan terkait diskriminasi ras dan etnis. Dalam Pasal 244 RUU KUHP, disebutkan bahwa pembedaan atau pengecualian yang didasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan hak asasi manusia atau kebebasan dasar, dapat dipidana. Ini menunjukkan adanya langkah konkret dari pemerintah untuk menangani diskriminasi berbasis identitas.
Penjelasan atas Pasal 244 RUU KUHP juga memberikan contoh pembedaan, seperti dalam konteks perusahaan yang memberikan perlakuan berbeda kepada karyawannya berdasarkan suku tertentu. Ketentuan ini penting untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil, tanpa diskriminasi atas dasar identitas ras atau etnis. Namun, ketentuan ini masih perlu disosialisasikan dengan baik agar publik memahami implikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kendati UU Pemilu dan RUU KUHP mengatur larangan diskriminasi, penting untuk memperjelas batasan politik identitas agar tidak terjadi multitafsir. Dalam ranah pemilu, ketidakjelasan definisi politik identitas dapat menimbulkan kesalahpahaman, terutama ketika identitas digunakan secara negatif untuk menyerang lawan politik. Oleh karena itu, diperlukan kesepahaman bersama untuk memaknai politik identitas dalam konteks demokrasi yang sehat.
Untuk memahami lebih jauh, ada tiga terminologi penting yang perlu dikenali publik terkait politik dan identitas. Pertama, identitas politik, yang merupakan atribut pasif yang melekat pada setiap individu sebagai warga negara. Identitas politik ini muncul saat seseorang menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, sehingga mencerminkan keterlibatan individu dalam proses politik.
Kedua, politik identitas. Konsep ini menggambarkan pola aktif di mana kelompok tertentu berjuang mempertahankan hak-hak mereka yang dijamin oleh konstitusi. Politik identitas menjadi sarana ekspresi yang sah bagi kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan dalam identitas tertentu, seperti suku, agama, atau ras, untuk memperjuangkan kepentingan mereka di arena politik.
Terminologi yang ketiga adalah politisasi identitas. Politisasi identitas terjadi ketika identitas digunakan sebagai alat untuk meraih keuntungan elektoral, terutama dalam kampanye politik. Sayangnya, politisasi identitas sering kali berdampak buruk, karena dapat memecah belah masyarakat dan menimbulkan polarisasi yang tajam. Hal ini terjadi ketika isu-isu sensitif, seperti agama atau etnis, dimanfaatkan untuk mengadu domba kelompok-kelompok masyarakat.
Dengan adanya fenomena politisasi identitas, masyarakat perlu lebih matang dalam menyikapi isu-isu politik yang berbasis identitas. Penting untuk memahami bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan identitasnya, namun identitas tersebut tidak boleh digunakan untuk merusak persatuan. Kesalahpahaman dalam memahami politik identitas dapat berujung pada penghakiman dan pembatalan hak politik kelompok tertentu.
Sebagai penutup, politik identitas seharusnya dipandang sebagai hak konstitusional yang sah, selama digunakan dengan cara yang tidak menimbulkan konflik atau polarisasi. Identitas agama, suku, dan golongan merupakan bagian integral dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Maka dari itu, menjaga keseimbangan antara memperjuangkan identitas dan menjaga kebhinekaan menjadi hal penting dalam upaya merawat persatuan bangsa.