
News Tajdid, Jakarta – Dugaan penghapusan konten pro-Palestina oleh Meta menuai reaksi dari pakar komunikasi politik, Muhammad Fuady, yang menganggap langkah Meta ini sebagai tindakan diskriminatif.
Penghapusan ini diduga telah mengundang perhatian dari organisasi hak asasi manusia internasional dan memicu kritikan luas.
Pakar dari Universitas Islam Bandung tersebut mengungkapkan bahwa banyaknya laporan dari warganet bukan sekadar tuduhan kosong.
Menurutnya, Meta harus memberi penjelasan transparan terkait alasan penghapusan konten pro-Palestina yang dianggap tidak melanggar kebijakan platform.
Dalam pernyataannya, Fuady menyebutkan bahwa organisasi seperti Human Rights Watch (HRW) dan The Jerusalem Legal Aid and Human Rights Center juga pernah menyuarakan kritik terhadap Meta.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
Mereka menilai bahwa kebijakan Meta cenderung bias terhadap konten yang mendukung Palestina.
Meta, perusahaan induk dari platform seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp, sejak pertengahan Oktober 2023 disebut-sebut telah menghapus lebih dari 700 ribu postingan pro-Palestina.
Menurut Meta, penghapusan dilakukan atas dasar aturan terkait kekerasan, ujaran kebencian, dan terorisme, meskipun banyak konten tersebut tidak memuat kekerasan.
Fenomena ini memunculkan dugaan bahwa Meta berperan dalam membatasi informasi terkait situasi Palestina, dan dianggap berpihak pada ‘Israel’.
Situasi ini telah membuat warganet, khususnya di Indonesia dan Malaysia, merasa tidak memiliki kebebasan untuk mendukung Palestina di media sosial.
Ahmad Heryawan, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, bahkan mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan pencabutan izin Meta di Indonesia. Menurutnya, tindakan Meta bertentangan dengan prinsip kebijakan Indonesia yang pro-Palestina dan anti-agresi ‘Israel’.
Fuady mendukung langkah DPR ini, sembari mengingatkan pemerintah bahwa jika tidak ada tindakan tegas, Meta akan terus mendominasi ruang digital dengan kebijakan yang dianggap diskriminatif.
Ia menilai bahwa transparansi dari Meta perlu ditegakkan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Situasi ini telah menimbulkan polemik di berbagai negara, sehingga memperkuat seruan untuk mempertanyakan peran Meta dalam mengatur kebijakan konten yang mendukung Palestina. Banyak yang berharap Meta bisa merespons tuduhan ini secara objektif dan adil.
Komisi I DPR RI pun berencana memanggil Meta untuk menjelaskan kebijakan penghapusan konten terkait Palestina yang dianggap melanggar netralitas informasi.
“Kita tidak ingin masyarakat dibatasi dalam mengungkapkan dukungannya untuk Palestina,” ujar Aher menegaskan.