
oleh : Mike. B
Malam merayap pelan di langit kota. Bintang-bintang berkilauan, seakan memberi tanda bahwa bulan suci hampir tiba. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah yang basah sehabis hujan. Di sebuah sudut kamar yang remang, Azzam menatap ke luar jendela. Matanya kosong, pikirannya berkelana. Ramadhan sudah di depan mata, tapi hatinya masih terasa hampa.
“Kenapa aku nggak merasa apa-apa?” gumamnya lirih.
Setiap tahun, Ramadhan datang dan pergi. Setiap tahun pula, Azzam merasa dirinya masih tetap sama. Tak ada perubahan, tak ada peningkatan. Sahur, berbuka, tarawih, dan lalu semuanya kembali ke rutinitas biasa. Tidak ada yang benar-benar membekas.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk di grup teman-temannya.
“Guys, bukber tahun ini di mana? Ada rekomendasi tempat kece buat foto-foto nggak?”
Azzam tersenyum kecil, tapi ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Bukankah Ramadhan lebih dari sekadar acara buka bersama? Lebih dari sekadar sahur aesthetic dan tarawih yang hanya semangat di awal? Di dalam lubuk hatinya, ia merasa ada yang salah. Tapi apa?
Layar ponsel kembali menyala. Kali ini, pesan dari sahabatnya, Ziya.
“Zam, udah nyiapin target Ramadhan belum? Aku lagi coba bikin list nih. Mau bareng?”
Azzam menatap layar itu lama. Target Ramadhan? Ia bahkan belum terpikir ke sana. Setiap hari, hidupnya dipenuhi scroll media sosial, tugas kuliah, kerja sambilan, dan… ya, hanya itu. Lalu, setelah Ramadhan berlalu, ia kembali menjadi dirinya yang sama: sibuk tanpa arah, berlari tanpa tahu tujuan.
Ia menarik napas dalam. Mungkin sudah saatnya sesuatu berubah.
Malam itu, Azzam duduk dengan secarik kertas di depannya. Tangannya ragu, tapi hatinya berkata,
“Coba saja dulu.”
Ia menuliskan satu per satu hal yang selama ini sering ia abaikan:
Membaca Al-Qur’an setiap hari.
Sholat tepat waktu tanpa alasan.
Tarawih tanpa bolong.
Sedekah, meski hanya sedikit.
Mengurangi waktu di media sosial.
Menjaga lisan dan hati.
Ia tersenyum. Tidak ada yang sulit sebenarnya. Tapi mengapa selama ini terasa berat? Mungkin karena ia selalu menunggu ‘mood’ datang. Menunggu hidayah turun dengan sendirinya. Padahal, hidayah harus dijemput. Ibadah harus diperjuangkan.
“Oke, Ramadhan tahun ini nggak boleh lewat begitu saja.” Azzam mengepalkan tangannya.
“Aku harus berubah. Aku mau menjadikan Ramadhan ini titik balik dalam hidupku.”
Esoknya, ia menghubungi Ziya. “Aku ikut bikin target. Bisa nggak kita saling ingetin?”
Di ujung sana, Ziya tertawa.
“Itu dia, bro! Ramadhan bukan soal sendiri-sendiri. Kita butuh orang-orang yang bisa saling menguatkan. Kalau game punya event XP boost, Ramadhan ini event upgrade diri. Kesempatan leveling up! Jangan sampai kita sia-siakan.”
Azzam tertawa kecil. “Baiklah, kita mulai dari sekarang. Ramadhan ini, aku nggak mau jadi yang dulu lagi.”
Malam itu, bintang-bintang tampak lebih terang. Seakan turut bersaksi, bahwa ada hati yang mulai bergerak menuju kebaikan.
Bahwa Ramadhan kali ini, akan lebih berarti daripada sekadar lewat tanpa arti.