
Oleh: Ahmad Imam Maarif
Wakil Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Publik PDPM Tarakan
Peredaran narkoba di Indonesia, khususnya di Kalimantan Utara dan Kota Tarakan, kian hari kian menjadi hal yang lumrah di mata sebagian masyarakat. Penangkapan terhadap pengguna, kurir, pengedar, hingga bandar bukan lagi berita mengejutkan, melainkan sudah menjadi pemandangan biasa dalam keseharian kita. Upaya pencegahan dan sosialisasi pun terus dilakukan—mulai dari sekolah, organisasi kepemudaan, hingga lembaga masyarakat—namun narkoba seakan masih mampu berbisik lantang: saya tidak diam dan tidak mati.
Narkoba tidak hanya berbicara tentang zat terlarang dan keharaman. Ia adalah musuh laten yang mengintai, menjadi simbol kehancuran generasi bangsa. Kemajuan zaman dan gaya hidup yang semakin kompleks telah membuka celah bagi narkoba untuk menyusup lebih dalam ke dalam berbagai lapisan masyarakat. Mereka yang tak mampu mengendalikan diri dalam pusaran modernitas dan tekanan hidup, mudah terjerumus ke dalam jurang penyalahgunaan narkoba.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 Ayat 1, narkotika didefinisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, hingga ketergantungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, obat terlarang adalah zat yang menimbulkan rasa kantuk, efek tenang, atau sebaliknya dapat merangsang sistem saraf, seperti ganja dan opium. Dua definisi ini sudah cukup untuk menjelaskan betapa berbahayanya narkoba terhadap tubuh, pikiran, dan masa depan manusia.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa narkoba bukan hanya soal kerusakan fisik, tetapi juga kehancuran masa depan. Informasi mengenai dampak jangka panjang narkoba—seperti kecanduan, gangguan mental, dan bahkan kematian—harus disampaikan secara masif melalui berbagai media, termasuk sekolah, kampus, dan tempat kerja.
Dalam konteks pencegahan, peran keluarga menjadi sangat penting. Komunikasi yang hangat dan terbuka antara orang tua dan anak dapat menjadi benteng awal untuk mendeteksi serta mengatasi masalah sejak dini. Orang tua harus aktif memahami dengan siapa anak mereka bergaul dan lingkungan seperti apa yang membentuk keseharian mereka.
Sekolah dan lingkungan sosial juga merupakan titik rawan penyebaran narkoba. Oleh sebab itu, guru, pendidik, dan tokoh masyarakat harus mengambil peran aktif dalam mengawasi dan membina para remaja. Program edukasi anti-narkoba harus dibuat lebih kreatif, membumi, dan menyentuh langsung kehidupan para pelajar. Ruang dialog terbuka mengenai narkoba juga harus terus diperluas, agar siswa merasa aman untuk bercerita dan mencari solusi.
Pemerintah juga tidak boleh tinggal diam. Penegakan hukum yang tegas, pengawasan terhadap jalur distribusi narkoba, serta regulasi yang kuat menjadi kunci utama dalam menekan angka peredaran. Tak kalah penting, pemerintah juga harus menyediakan layanan rehabilitasi yang mudah dijangkau serta kampanye yang konsisten dan menyentuh hati masyarakat.
Kita harus percaya bahwa narkoba bisa “mati” jika seluruh komponen masyarakat sadar, peduli, dan bertindak bersama. Suatu saat nanti, kita berharap generasi muda tidak lagi sibuk membahas bahaya narkoba, melainkan berbicara tentang inovasi, kemajuan bangsa, dan masa depan yang cerah. Narkoba akan benar-benar mati—bukan karena dibiarkan, tetapi karena kita memilih untuk melawan. (Opn)