
Oleh: Adhi Guntur P / Wakil Ketua Pendidikan dan Kader PDPM Kota Tarakan
Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dalam berinteraksi dengan pemerintahan dan konsisten mengusung nilai-nilai Islam moderat yang berorientasi pada kemajuan. Dalam konteks politik nasional, Muhammadiyah tidak pernah secara eksplisit menyatakan diri sebagai oposisi maupun partisan. Sebaliknya, organisasi ini selalu berupaya menjadi mitra kritis pemerintah, menjaga keseimbangan antara dukungan dan pengawasan demi kepentingan umat dan bangsa.
Muhammadiyah dalam Sejarah Pemerintahan
Sejak era Soekarno hingga Joko Widodo, Muhammadiyah konsisten menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Di bawah rezim Orde Baru, meskipun menghadapi tekanan politik, Muhammadiyah tetap fokus pada gerakan sosial dan pendidikan, menghindari keterlibatan dalam konflik politik praktis.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Muhammadiyah mengambil peran di luar pemerintahan dan sering mengkritisi kebijakan pemerintah. Masyarakat menilai bahwa Muhammadiyah saat itu lebih vokal dalam menyuarakan kritik terhadap kebijakan pendidikan, kesejahteraan sosial, dan isu-isu strategis lainnya. Harapan publik semakin kuat agar Muhammadiyah memiliki sikap yang jelas: mendukung atau menjadi pengkritik pemerintah. Sikap kritis ini mempertegas jati diri Muhammadiyah sebagai organisasi yang selalu memihak kepentingan umat, meski tidak masuk ke dalam dinamika politik praktis.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
Sejak didirikan, Muhammadiyah berpegang pada prinsip washatiyah—Islam moderat yang berfokus pada pendidikan, kesehatan, dan sosial. Sesuai Khittah Muhammadiyah yang dirumuskan dalam berbagai pertemuan penting, seperti di Denpasar dan Ponorogo, Muhammadiyah menegaskan diri sebagai gerakan non-politik. Meski begitu, organisasi ini tetap fleksibel dalam praktiknya. Muhammadiyah mungkin tidak aktif dalam kancah politik praktis, tetapi selalu berperan penting dalam isu-isu sentral yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Kepemimpinan Joko Widodo dan Muhammadiyah
Selama sepuluh tahun kepemimpinan Joko Widodo, hubungan Muhammadiyah dan pemerintah diwarnai dinamika menarik. Kritik tajam disampaikan terhadap sejumlah kebijakan seperti UU Cipta Kerja dan penanganan pandemi COVID-19. Di sisi lain, Muhammadiyah juga bekerja sama dengan pemerintah dalam berbagai program sosial, terutama dalam sektor kesehatan melalui amal usaha.
Namun, penerimaan izin tambang oleh Muhammadiyah menimbulkan perdebatan. Publik mempertanyakan apakah penerimaan ini akan mengurangi independensi dan daya kritis organisasi atau sekadar bentuk pragmatisme dalam menjaga keberlanjutan amal usaha. Beberapa kader bahkan memutuskan untuk keluar dari organisasi sebagai protes atas kebijakan tersebut.
Tantangan di Era Prabowo Subianto
Kini, di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, sejumlah kader terbaik Muhammadiyah dipercaya untuk mengisi posisi strategis sebagai menteri dan wakil menteri. Langkah ini menimbulkan spekulasi mengenai arah sikap Muhammadiyah ke depan. Apakah keterlibatan kader di pemerintahan akan memperkuat pengaruh organisasi atau justru mengaburkan sikap kritisnya?
Partisipasi Muhammadiyah di pemerintahan membuka peluang besar untuk mempengaruhi kebijakan publik demi kepentingan umat. Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa kedekatan dengan kekuasaan tidak mengurangi kemampuan organisasi ini untuk tetap kritis dan independen. Integritas dan keseimbangan dalam menjalankan peran sosial dan politik harus tetap terjaga.
Muhammadiyah: Oposisi atau Pragmatis?
Muhammadiyah bukanlah gerakan politik, melainkan gerakan sosial-keagamaan yang menilai kebijakan secara objektif. Sikap pragmatis Muhammadiyah terletak pada kemampuan menilai kebijakan secara seimbang—mengkritik ketika kebijakan merugikan umat dan memuji jika kebijakan tersebut bermanfaat.
Di era Prabowo, ujian bagi Muhammadiyah semakin nyata. Masyarakat menanti apakah Muhammadiyah tetap menjadi mitra kritis yang objektif atau akan terpengaruh oleh kedekatan dengan kekuasaan. Apakah Muhammadiyah akan tetap pragmatis, atau malah menjadi bagian dari rezim baru?
Dengan sejarah panjang dan kontribusi besar dalam pembangunan bangsa, Muhammadiyah dihadapkan pada tantangan untuk terus mempertahankan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini harus tetap menjadi landasan dalam setiap langkah organisasi, terlepas dari siapa yang memimpin pemerintahan. Integritas inilah yang akan memastikan bahwa Muhammadiyah dapat terus berperan sebagai kekuatan moral dan sosial yang signifikan, serta menjadi pilar dalam memajukan bangsa tanpa kehilangan jati diri. (*)