
Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak hanya memenuhi aspek fisik, tetapi juga mempengaruhi spiritual dan kepribadian. Islam, sebagai agama yang sempurna, telah memberikan tuntunan yang jelas mengenai konsep makanan yang halalan tayyiban, yaitu makanan yang halal lagi baik. Konsep ini tidak hanya tentang makanan yang dibolehkan secara syar’i, tetapi juga meliputi aspek gizi dan dampaknya terhadap kesehatan jasmani serta kepribadian seorang Muslim.
Makanan yang kita konsumsi tidak hanya berfungsi sebagai sumber energi bagi tubuh, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap cara berpikir, emosi, dan perilaku. Dalam Al-Qur’an, perintah untuk mengonsumsi makanan halal dan baik disebutkan dalam beberapa ayat, salah satunya adalah QS Al-Baqarah 2:168 yang menyeru kepada manusia untuk tidak hanya mengonsumsi makanan yang halal, tetapi juga yang baik. Baik di sini tidak hanya dalam arti gizi, tetapi juga dari segi bagaimana makanan itu diperoleh, diolah, dan dikonsumsi.
Ulama besar seperti Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menekankan bahwa makanan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kepribadian seseorang. Ketika seseorang makan dari sesuatu yang haram, meskipun tampaknya tidak berdampak langsung, hal tersebut akan mempengaruhi jiwanya secara perlahan. Efek makanan haram dapat masuk ke alam bawah sadar dan menyebabkan kegelisahan, yang pada akhirnya memicu perilaku buruk. Sebaliknya, konsumsi makanan yang halal dan baik akan membantu seseorang untuk menjaga kesehatannya secara fisik dan mental, serta mendorongnya untuk berperilaku positif.
Hal ini sejalan dengan konsep bahwa kepribadian seorang Muslim terbentuk dari kebiasaan sehari-harinya, termasuk dalam hal makan. Seseorang yang menjaga diri dari makanan haram akan lebih mudah mengendalikan diri dari godaan perilaku yang tidak baik. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan makanan instan dan proses pengolahan yang kurang jelas, penting bagi seorang Muslim untuk lebih berhati-hati dalam memilih makanan yang tidak hanya sekadar halal, tetapi juga baik.
Selain itu, konsep halalan tayyiban mengajarkan bahwa makanan yang halal tidak cukup hanya berdasarkan status syar’i, tetapi juga harus memperhatikan aspek kebaikan secara menyeluruh. Misalnya, menghindari makanan yang berlebihan dalam pengolahan kimia, makanan yang tidak higienis, serta makanan yang diperoleh melalui cara-cara yang tidak etis, seperti korupsi atau penipuan. Kepribadian seorang Muslim yang baik tidak dapat terpisah dari apa yang dia konsumsi sehari-hari.
Dengan demikian, menjaga makanan yang halal dan baik adalah upaya menjaga keselamatan diri, baik di dunia maupun akhirat. Sebagaimana kata pepatah, “Jadikan makananmu sebagai obatmu.” Makanan yang baik dan halal tidak hanya memberikan energi untuk beraktivitas, tetapi juga menjaga keutuhan jiwa dan moralitas seorang Muslim.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
Dalam perspektif kepribadian, seseorang yang selalu berusaha mengonsumsi makanan halal dan baik, otomatis akan terdorong untuk melakukan perbuatan baik. Sebaliknya, mereka yang tidak memperhatikan aspek halal dan baik dalam makanannya, berisiko kehilangan kontrol atas perilaku mereka, yang dapat mengarah pada tindakan buruk.
Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim, penting untuk selalu mengutamakan makanan yang halalan tayyiban dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga demi menjaga kebersihan hati dan pikiran. Sebab, segala sesuatu yang masuk ke tubuh kita akan mempengaruhi siapa kita dan bagaimana kita bertindak di hadapan Allah dan sesama manusia.(*)
Opini : Juanda, S.Pd., M.Pd.