
News Tajdid, Tarakan – Rumah Kebangsaan Cipayung Plus Kalimantan Utara (Kaltara) menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas penguatan ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM Rabu, (25/12). Dalam giat tersebut, persoalan krisis identitas yang dialami mahasiswa Kaltara menjadi salah satu isu utama yang dibahas.
Ketua Umum PMII Cabang Tarakan, Linta Solihat, menyampaikan bahwa mahasiswa di Kaltara saat ini menghadapi tantangan besar dalam memahami peran dan esensi keberadaan mereka di perguruan tinggi.
“Banyak mahasiswa tidak mengenal tujuan mereka dalam pendidikan, sehingga partisipasi publik dan kepemimpinan di Kaltara menjadi yang terendah kedua di Indonesia,” ujarnya.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
Menurut Linta, semangat mahasiswa dalam belajar dan berpartisipasi dalam kegiatan intelektual di luar kampus terus menurun.
“Banyak yang sulit memahami bacaan dan menulis hasil analisis karena tekanan tugas, administrasi, dan perkuliahan yang padat,” tuturnya.
Diskusi ini juga menyoroti adanya rantai ketakutan di dunia akademik.
“Pemerintah takut pada mahasiswa, mahasiswa takut pada dosen, dan dosen takut pada pemerintah. Stigma ini membuat mahasiswa ragu untuk menyuarakan pendapat,” ungkap Linta.
Koordinator acara, Heris, menyebutkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi krisis identitas tersebut melalui penguatan nilai-nilai Pancasila, demokrasi, dan HAM.
“Kami ingin mahasiswa Kaltara menjadi agen perubahan yang aktif, toleran, dan demokratis,” tegas Heris.
Heris juga menyoroti pentingnya kolaborasi antarorganisasi dalam Cipayung Plus untuk menciptakan ruang diskusi yang kondusif.
“Rumah Kebangsaan ini adalah wadah strategis untuk membangun semangat kebersamaan dalam menghadapi tantangan di masyarakat,” tambahnya.
Kegiatan FGD ini menghasilkan beberapa poin rekomendasi, seperti penguatan literasi mahasiswa, peningkatan partisipasi publik, dan pembentukan program kolaboratif untuk mendorong demokrasi di Kaltara.
“Pancasila harus menjadi fondasi dalam mengatasi masalah-masalah tersebut,” kata Heris.
FGD diakhiri dengan kesepakatan untuk memperbanyak ruang diskusi yang melibatkan mahasiswa, akademisi, dan masyarakat umum guna menciptakan suasana kondusif di Kalimantan Utara.
“kami yakin, mahasiswa Kaltara dapat menjadi motor penggerak perubahan positif,” pungkas Linta. (*)