
Generasi Z semakin mendominasi pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di dunia kerja. Survei terbaru dari Google Workspace mengungkapkan bahwa mayoritas pekerja Gen Z (usia 22-27 tahun) telah mengadopsi AI sebagai bagian dari rutinitas mereka. Sebanyak 93% responden dalam kelompok ini menggunakan setidaknya dua alat AI generatif, seperti ChatGPT, DALL-E, atau Otter.ai, setiap minggu. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja milenial (usia 28-39 tahun), di mana hanya 79% yang melaporkan penggunaan serupa.
Menurut Yulie Kwon Kim, Wakil Presiden Produk di Google Workspace, pekerja muda memanfaatkan AI untuk berbagai keperluan, seperti menyusun dan merevisi email, mencatat selama rapat, serta merancang ide awal dalam pekerjaan mereka. “Jika AI bisa membantu menyederhanakan tugas-tugas, pekerja dapat lebih fokus pada aspek yang lebih strategis dan kreatif,” ujarnya dalam pernyataan pada 6 Desember 2024. Survei juga mencatat bahwa 88% pekerja Gen Z menggunakan AI untuk mengawali tugas-tugas yang terasa berat.
Survei ini dilakukan pada akhir musim panas lalu dengan melibatkan 1.005 pekerja pengetahuan penuh waktu yang berusia antara 22 hingga 39 tahun, baik yang sudah berada di posisi kepemimpinan maupun yang masih bercita-cita menjadi pemimpin. Hasilnya mengonfirmasi bahwa generasi muda memang cenderung menjadi pelopor dalam mengadopsi teknologi baru. Fenomena serupa sebelumnya juga terlihat dalam penggunaan email, aplikasi kolaboratif, dan alat komunikasi digital lainnya.
Dengan semakin luasnya penggunaan AI, besar kemungkinan tren ini akan diikuti oleh generasi lainnya. Teknologi ini dinilai mampu meningkatkan efisiensi kerja dan mengurangi beban tugas administratif yang repetitif. Namun, adopsi AI di dunia kerja juga menghadirkan tantangan tersendiri. Meski banyak pekerja muda yang antusias, tidak semua profesional merasa nyaman menggunakan teknologi ini.
Survei lain mengungkapkan bahwa hampir separuh pekerja dari berbagai usia enggan mengakui bahwa mereka menggunakan AI dalam pekerjaan. Namun, Gen Z lebih terbuka terhadap diskusi mengenai alat AI yang mereka pakai. Sebanyak 52% dari mereka sering berdiskusi dengan rekan kerja tentang pemanfaatan teknologi ini.
Di satu sisi, AI menghadirkan potensi produktivitas yang lebih tinggi dengan mengotomatisasi tugas-tugas monoton. Namun, di sisi lain, teknologi ini juga dapat berdampak pada pasar kerja, terutama dalam hal pengurangan beberapa jenis pekerjaan. Meski demikian, jika digunakan secara bijak, AI bisa menjadi alat yang mendukung efisiensi kerja tanpa menggantikan peran manusia sepenuhnya.
Seiring dengan berkembangnya teknologi AI, tantangan bagi dunia kerja bukan hanya soal adopsi, tetapi juga bagaimana manusia dan AI bisa bekerja berdampingan secara optimal. (***)