
Oleh : Juanda, M.Pd – Forum Guru Muhammadiyah Tarakan
Di balik setiap generasi hebat, berdirilah sosok guru yang setia menabur ilmu, menanam harapan, dan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Guru bukan sekadar pengajar, melainkan penuntun jiwa mereka membimbing dari gelapnya ketidaktahuan menuju terang pengetahuan. Namun sayangnya, di tengah gegap gempita pembangunan negeri, suara dan nasib para guru masih kerap dipinggirkan.
Secara yuridis, hak guru sudah diatur dengan tegas. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjamin penghasilan yang layak dan kesejahteraan yang memadai. Bahkan, konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat dan itu hanya mungkin terpenuhi jika guru sebagai pelaksana utama pendidikan mendapat perlakuan yang adil. Sayangnya, realitas di lapangan jauh dari ideal. Masih banyak guru di pelosok negeri yang berjuang dalam kesunyian dan keterbatasan.
Baca Juga : Ketum HIPMI Kaltara Bicara Soal Peluang Ekspor ke Wapres
Baca Juga : Porwakot I Tarakan Pertandingkan 8 Cabor dan Lomba, Libatkan Seluruh Insan Per
Salah satu potret nyata dari ironi ini terlihat di Kalimantan Utara. Para guru di wilayah perbatasan bumipanguntaka ini menjadi pelita yang terus menyala di tengah gelapnya fasilitas dan perhatian. Mereka tetap hadir di kelas-kelas sederhana, membimbing anak-anak bangsa dengan sepenuh hati, meski upah yang diterima jauh dari cukup. Yang lebih menyayat hati, insentif tambahan yang selama ini menjadi harapan untuk menutup kebutuhan hidup tiba-tiba dihentikan tanpa kejelasan. Tak ada kepastian kapan akan kembali. Yang tersisa hanyalah kecemasan dan keprihatinan mendalam. Bagaimana mungkin mereka diminta tetap berjuang, jika hak dasarnya pun tak terpenuhi?
Namun di balik semua keterbatasan itu, nyala semangat tak pernah padam. Forum Guru Muhammadiyah (FGM) bersama komunitas-komunitas guru lainnya menjadi wadah perjuangan yang terus bersuara. Mereka tidak lagi sekadar mengeluh dalam diam, tetapi bergerak, menyuarakan tuntutan dengan cara yang bermartabat dan konstruktif. Mereka berharap pemerintah Kalimantan Utara tidak lagi menutup mata terhadap kenyataan ini. Mengembalikan insentif guru bukan hanya soal administrasi keuangan, tetapi soal keberpihakan dan tanggung jawab moral terhadap para pendidik bangsa.
Kita tak bisa bicara tentang kualitas pendidikan tanpa memuliakan posisi guru. Mereka bukan sekadar elemen teknis dalam sistem pendidikan, melainkan pilar utama pembentuk peradaban. Guru yang sejahtera akan mengajar dengan hati yang tenang, pikiran yang jernih, dan semangat yang menyala. Sebaliknya, jika kesejahteraan mereka dicabut, maka energi pengabdian perlahan akan terkikis oleh beban hidup yang terus menghimpit.
Dari perspektif sosiologis, guru adalah agen transformasi sosial. Mereka tidak hanya mengajarkan rumus dan teori, tetapi juga membentuk karakter, menanamkan nilai, dan mencetak warga negara yang berintegritas. Ketika kesejahteraan guru diabaikan, sesungguhnya kita sedang menanam benih ketimpangan dan membiarkan masa depan bangsa berdiri di atas fondasi yang rapuh.
Kini saatnya kita bertanya dengan jujur: sampai kapan pengabdian guru harus dibalas dengan ketidakpastian? Sampai kapan mereka harus tetap berdiri tegar di tengah ketidakadilan yang terus berulang?
Mensejahterakan guru bukan lagi sekadar pilihan kebijakan melainkan kewajiban moral dan amanah konstitusi. Dalam peluh mereka tersimpan cita-cita bangsa. Dalam doa-doa lirih mereka yang tak pernah putus, tersimpan harapan akan Indonesia yang lebih adil, lebih maju, dan lebih bermartabat. Maka, mari kita hormati mereka bukan hanya dengan pujian setahun sekali, tetapi dengan kebijakan nyata setiap hari.